Jangan Menyisakan Banyak Ruang Untuk Kecewa


"Kalo kamu sedih ya wajar, namanya juga manusia. Hidup kan gak bahagia terus.
Kadang kita lebih baik gak tau apa-apa biar gak kecewa.
Tapi salah juga sih, kecewa itu ada karena kita menyisakan ruang untuk kecewa "terlalu banyak".
Hati kita itu ibarat tempat makan yang ada sekat-sekat buat naruh macam-macam makanan. Seperti makanan, perasaan juga gak cuma satu rasa aja kan? Ada banyak macam. Bahagia, sedih, kecewa, marah, sayang dan lain2. Dan itu terserah kita mau naruh perasaan mana yang lebih banyak porsinya. Kita itu punya power buat mengendalikan hati kita sendiri. Dan juga perlu logika buat menyeimbangkannya."

***

Itu caption yang ditulis beberapa hari lalu disalah satu akun media sosial gue.
Iya gue tau, itu lebih mirip narasi daripada caption karena terlalu panjang, kan? Haha 😅

Mau sedikit cerita aja sih pengalaman perihal kecewa. Asik. Lah kok asik.
Dimulai dari mana ya? Hmm, oh iya dari 2 agenda minggu ini aja yang failed.
Jadi ceritanya, ada 2 orang teman yang menjanjikan main bareng minggu ini. Tapi gagal semua, satu karena acara keluarga, satunya lagi karena acara sama teman-teman kampusnya. Mungkin, kalo gue berharap lebih gue akan kecewa. You know lah, tinggal weekend di bulan Agustus aja gue free dan bisa main. Karena mulai September gue harus nguli lagi. Tapi karena dari awal gue nggak berharap lebih, jadi akhirnya ketika acara tersebut nggak jadi? Perasaan gue datar aja. Flat kaya sendal Swallow, yha.

Gimana ya explain-nya? Biasa aja, nggak kenapa-kenapa. Padahal kedua teman gue ini sampe minta maaf karena ngebatalin janji dan minta jadwal minggu depan kalo gue senggang.

Before I continue about my feelin' gue mau flashback beberapa minggu yang lalu, setelah nggak pernah berharap dan kecewa akhirnya gue merasakan kekecewaan yang amat sangat (lagi) terhadap seseorang (I can't tell you who the someone is). Ada hal yang bikin gue berharap lebih sama dia, dan ternyata harapan itu sendiri yang bikin gue terpuruk. Yep. Tapi gue bersyukur masih mau pake logika gue buat enggak lama-lama terpuruk. Akhirnya gue menjalani hari dengan normal and like there's no something happened.
Hari berganti hari dan semuanya berjalan seperti biasa. Gue menghabiskan waktu berjam-jam disebuah gedung tempat gue bekerja, kejebak macet, dan leyeh-leyeh setiap hari Sabtu sampe Minggu.
Semuanya terlalu biasa dan datar. Tapi ya itu tadi, setidaknya gue menaruh perasaan pada mode default. Gak dititik terlalu tinggi, ataupun terendah.
Dan ketika hari libur 17an kemarin gue pergi ke salah satu tempat "menyenangkan", perasaan gue juga datar-datar aja. Sepulang dari tempat itu ada salah satu teman dm (setelah liat instastory)

He : Gimana disana? Bagus nggak tempatnya?
Me : Bagus sih, tapi B aja.
He : Ah kamu mah semua tempat kayaknya B aja deh, gimana tempat yang gak B aja buat kamu?
Gue baru ngeh, ohiya ya? Gue bingung juga balesnya. Haha.
The point of view pada cerita ini sih, actually gue sedang nyaman dengan perasaan yang flat aja ini. Jadi gue nggak punya ekspektasi apapun terhadap seseorang atau obsesi apapun terhadap sesuatu. Hidup gue ya ngalir aja. Kerjaan nggak terlalu ngoyo, kuliah juga ya jadi mahasiswa biasa aja (dan lucunya gue malah ketawa sendiri ketika ngeliat IP terakhir gue cumlaude di semester kemarin). Aslik, gue malah nanya "yha kok bisa dah?". Gitu masa? 😂

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona 11-12-13

30 Tahun

Kehilangan Diri Sendiri