Tak Peduli Sejauh Apa

Pagi ini aku mengirimkan pesan singkat pada mama. Isinya memberitahukan bahwa masa magang di tempatku bekerja sekarang, berakhir sampai akhir bulan Februari. 
Fyuh~

Antara lega dan bingung. Lega, karena akhirnya ada kejelasan tentang masa magangku yang sebelumnya tidak tau sampai kapan. Bingung, karena aku belum mendapat pekerjaan baru lagi. Masa magang ditempat ini ternyata sampai enam bulan. Berbeda dengan kantor sebelah yang hanya tiga bulan saja. 
Beside that,  rasa legaku dilengkapi dengan rasa senang yang selama ini tidak bisa terwujud. Apa lagi kalau bukan pulang ke rumah? Yipeeeeee~


Aku memang baru dua bulan yang lalu pulang ke rumah, tapi entah kenapa akhir-akhir ini mama sering melow. Beberapa kali meminta aku dan kakakku pulang. Bukan secara frontal memang, tapi dengan kode lewat pesan singkat yang dikirimkan kepadaku. 

Contohnya seperti ini ~> "mama lagi makan jamur, jadi pengen makan bareng sama kalian."
Aku dan kakakku memang pecinta berat masakan mama. Jamur buatan mama is one of the best menu dan selalu menjadi rebutan.

***

Selama bulan Januari - Februari aku memang belum bisa menyempatkan untuk pulang ke rumah. Karena jadwal kerja dan kuliah satu minggu penuh.

*Senin - Jum'at : kerja
*Sabtu - Minggu : kuliah

Tapi sebelum aku sempat pulang, ternyata mama dan adikku lebih dulu mengalah dan pergi menjengukku. Mumpung ada tanggal merah (hari imlek) dan adikku libur sekolah. Hanya tiga hari dua malam saja, mama dan adikku tidak bisa berlama-lama karena ada pengerjaan renovasi di rumah. Huft~


Ohiya, anyway tentang pesan tadi pagi. Aku terharu dengan balasan pesan dari mama. Tidak ada rasa kecewa sedikitpun atas ketidakjelasan nasib pekerjaanku selanjutnya. Ketika aku bilang bahwa aku mau pulang sambil menunggu kabar lowongan dari temanku, mama balas "iya cu kumpul dulu sama mama dirumah." (cu sebutan lain dari bungsu, kadang mama suka keceplosan masih memanggilku cu/bungsu).

Disitu kadang saya sedih. Disitu aku sadar bahwa orang tua tidak menginginkan apa-apa, selain kumpul dengan anak-anaknya dirumah. Ketakutanku terhadap reaksi mama yang mungkin kecewa mendengar kabar dariku, lenyap seketika. Mamaaaa, I love you so much! :*


Dan saat-saat seperti ini kadang aku heran dengan teman-teman yang tinggal dengan orang tuanya, tapi malah tidak betah dirumah dan sibuk dengan teman-temannya atau pacarnya. Makan diluar lah, hang-out lah, nonton lah, dan lah-lah lainnya. I mean, bukan berarti aku tidak suka bersosialisasi, tapi mbo' ya kenapa susaaaaah untuk memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarga.
Padahal itu adalah hal yang membuatku iri dengan mereka. Pagi-pagi dibangunkan mama, diomeli karena susah bangun untuk shalat shubuh, makan masakan mama, membantu pekerjaan rumah, dan kegiatan rumahan lainnya.
Karena bagiku yang tinggal jauh dari orang tua sejak SMP, family is more than anything. 

Aku ingat, jauh dari rumah untuk melanjutkan sekolah sekaligus tinggal di pesantren adalah murni keinginanku sendiri. Itu karena aku melihat pengalaman kakakku yang lebih dulu tinggal di pesantren. Seru saja melihatnya. Hal yang paling favorit menurutku adalah ketika dijenguk tiap bulannya. Seperti piknik, kita sekeluarga makan bersama ditempat biasa para keluarga berkumpul setiap kali berkunjung. 
Dan aku menginginkan hal itu terjadi padaku. Syukurnya, orang tuaku mengamini keinginanku.


Aku memilih Cirebon sebagai kota perantauan pertamaku. Karena pesantren disana terpisah dengan sekolah (bukan Yayasan), jadi aku terlebih dulu mendaftar ke salah satu SMP negeri disana dan harus mengikuti ujian tertulis. Aku sempat khawatir tidak lolos, karena saat ujian aku datang terlambat entah berapa puluh menit dari waktu yang ditentukan. Aku belum resmi tinggal di pesantren, sehingga saat ujian tertulis aku harus berangkat dari rumah. Bayangkan saja jarak dari kota-ku ke kota tujuan (Subang - Cirebon). Aku mengerjakan soal semampu-ku. Hal yang tidak bisa kulupakan adalah, ketika ujian hanya aku yang memakai baju bebas (jeans, kaos+jaket, kerudung) sementara calon siswa lainnya memakai seragam sekolah (SD). Huft~


Aku lupa berapa lama menunggu pengumuman, tapi Alhamdulillah aku lolos dan diterima di sekolah tersebut. 
Dan hari-H pun tiba. Hari dimana aku diantar mama dan bapak untuk tinggal jauh dari rumah dan belajar hidup mandiri. Tapi aku sama sekali tidak sedih, aku malah menanti-nantikan hari itu. Mungkin kamu bisa bayangkan, bagaimana excited-nya tinggal jauh dari orang tua. Kamu tidak akan mendengar teriakan ibumu lagi, tidak akan disuruh ini dan itu, diomeli karena berbuat salah, dan segala perbuatan seorang anak yang selalu salah dimata orang tua.


The first week there's no problem. Semua berjalan seperti semestinya. Berkenalan dengan teman baru, tidur dengan teman sekamar yang kurang lebih per-kamarnya ada 15orang atau lebih, melakukan kegiatan rutin setiap harinya (shalat berjamaah, mengaji bersama, mengaji individu, madrasah, hafalan juz-amma sampe hafalan beberapa kitab), membiasakan hidup serba antri (dari mulai mandi, pup, mencuci, menyetrika).


Tapi beberapa minggu setelahnya barulah ada rasa kerinduan akan rumah. Rindu mama, rindu bapak, rindu nenek, rindu kakek, rindu tempat tidurku yang empuk, rindu acara tv yang setiap hari kutonton berjam-jam, rindu masakan mama, rindu teman-teman sekolah, rindu teman-teman mengaji, rindu kampung halaman, pokoknya rindu semua hal yang telah aku tinggalkan.


Ditahun pertama aku masih sering menangis karena rindu rumah. Tapi hal itu dianggap biasa oleh teman-teman seniorku yang pasti pernah juga mengalaminya. Dan lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Toh aku juga tidak sendiri, banyak teman seangkatanku juga merasakan hal yang sama.
Tentu banyak hal yang aku dapat selama di pesantren. Hal yang paling aku rasakan adalah kemandirian dan rasa gotong royong karena terbiasa hidup bersama-sama dalam satu atap. Aku menemukan keluarga baru, dan bertemu banyak teman dari berbagai daerah. Sumatera, Riau, Aceh, dan berbagai kota di pulau Jawa.

Tiga tahun berlalu dengan cepat. Dan akhirnya aku kembali ke kampung halamanku. Yang tadinya aku berniat untuk melanjutkan tingkat Menengah Atas disana, akhirnya urung karena mama memintaku untuk melanjutkan dirumah saja. I mean, sekolah dekat rumah.
Karena aku adalah tipe penurut, jadi tanpa banyak tanya aku menuruti saja apa kata mama. Lagipula, aku juga bosan dengan kegiatan rutin di pesantren (sekarang malah rindu berat heu~)


Tiga tahun berlalu dengan cepat (lagi). Aku memutuskan untuk tinggal dengan kakakku di Jakarta. Dan tinggal jauh dari rumah (lagi). 
Sama seperti sebelumnya, namun kali ini terasa lebih berat. Karena aku harus meninggalkan adikku juga yang sedang lucu-lucunya.


Sudah dua tahun lebih aku tinggal di Jakarta dengan kakakku. Ada banyak hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Like berbicara "elo-gue", macet setiap hari dan otomatis BT setiap hari, menerima kenyataan bahwa harga-harga segala macam hal berkali lipat lebih mahal, melihat kanan-kiri pemandangan berupa gedung, bertemu teman dari berbagai daerah, hidup nomaden seperti zaman Paleolitikum, sampai diberi kesempatan untuk magang disalah satu perusahaan web berita terbesar di Indonesia.

Tinggal jauh dari orang tua membuatku menghargai waktu kebersamaan dengan mereka. Tinggal jauh dari orang tua membuatku jarang bertengkar dan lebih sering berkirim pesan romantis dengan mereka.
Tak peduli sejauh apa, yang terpenting adalah aku sering merapalkan nama mereka dalam doa.

Komentar

  1. Iya, aneh sih kalo ada orang yang malah nggak betah tinggal sama orangtuanya. Saya sendiri selama SD tinggal dengan nenek, padahal itu masa-masanya anak kecil bisa merengek-rengek sama ibunya. :'( *malah mendadak sedih gini ngingetnya*

    BalasHapus
  2. Homesick oh homesick :D
    salah satu alasan yang menyebabkan homesick adalah orang tua. Kangen suasana bareng mereka itu loh :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesona 11-12-13

Ramadhan 1444H